Senin, Mei 11, 2009

Gaun Pengantin Berdarah..

Hembusan angin lembut membelai helai demi helai kain putih nan indah yang kini sedang kukenakan. Kain putihku tersibakkan dan menenangkan jiwaku sejenak. Dalam kegundahan dan ketidakyakinan ku berdiri terdiam di bawah pohon yang terlihat seperti menggagahi seorang perawan…atau mungkin bekas seorang perawan yang realitanya masih lajang dan belum dimiliki secara syah oleh siapapun!

Sekian detik kututup mataku dan kurasakan banyu ini melayangkan pikiranku ke masa kedzalimanku. Atas nama cinta, kulakukan hal yang semestinya belum pantas kulakukan. Namun, cinta tetaplah cinta dan selalu berkuasa atas jiwa yang merana akan kesepian yang begitu lama. Demi jiwa bayi suci, hinalah diriku ini! Pantaskah jiwa yang telah ternodai ini dimiliki insan murni? Mau-maunya dia sejelas-jelasnya secara tulus memberikan segala hidupnya demi lumpur kotor ini? Tersadar akan lamunku, panas terik matahari menyusup dedaunan pohon tempat ku berlamun. Tak terasa pula pipi ku basahi dengan air mata wanita nista. Bibir pun ku gigiti agar kuatkan jiwa yang terlalu rapuh bilapun diterbangkan angin akan hancur.

Ku pandangi sekali lagi diriku sembari menyibakkan gaun pengantin yang sedang kupakai dan cadar putih berhiaskan mahkota indah. Sekali lagi ku bertanya, pantaskah mahkota ini tetap kukenakan sedangkan mahkota diriku sendiri sudah redup cahaya dan kemilaunya? Buket bunga pun terangkai indah yang tergenggam tanganku saat ini kembali menciutkan batin juga nadi jantungku untuk bertahan hidup dan berpura-pura seakan aku adalah kembang perawan. Harum semerbak bunga di buket ini mengalahkan harumnya arti keperawanan. Ku lagi, menangisi jiwa yang tak patut ini. Tertundukku malu pada rumput hijau yang senantiasa bersenandung demi melaksanakan perintah Tuhannya. Rumputlah itu yang menertawakan tingkah laku ku hingga tersipu dan tersudut ku di atas kelamnya hati ini.

Bayangan hitam ku lihat dengan bola mata ini, tersentak ku lihat menuju arah punggungku. Seorang lelaki berjas hitam lengkap dengan mawar terselip di saku kiri atas jasnya yang mampu mendeskripsikan bahwa betapa sempurna lelaki itu. Dijulurkanlah tangannya dan dia pula memanggil namaku dengan begitu lembut. Jika bunga melati mendengarnya pun pasti akan terlena dan berubah kemerahan. Belum lagi senyumnya yang menyungging indah bak bulan sabit yang merekah di malam hari. Namun, saat ini pula sekilas ku lihat tetesan-tetesan keringat yang mengalir di dahinya itu. Menandakan bahwa dia kelelahan mencari ke mana pergi sebenarnya calon mempelai saat altar pernikahan hendak menyaksikan janji suci yang akan diikrarkan.

Nafasnya yang terengah-engah menandakan bahwa dia bersungguh-sungguh! Ya...dia bersungguh-sungguh untukku! Hanya untukku???

Kuhadapkan batang hidungku dengan batang hidungnya namun masih terlalu jauh untuk mampu kukecup sungging manis bibirnya itu. Oh…apalah yang kau pikirkan perempuan nista! Tak layak kau dapatkan malaikat itu! Terhinalah kau yang tak mampu mempertahankan mahkota hingga pada waktunya mahkota itu akan kau serahkan! Sesaat mungkin dia melihat sunggingan senyumku sebagai balasan senyum indahnya itu, hingga akhirnya ku melayu bagai bunga tak tersirami hujan. Malu aku!

Dengan kesungguhan hati ku ucapkan terima kasih pada malaikatku. Air mata yang mengalir deras tak menahan tekad bulatku untuk mengambil resiko jalan hidup di depanku kini. Perlahan-lahan ku balikkan batang hidungku dan kembali menghadapkan punggungku padanya. Kugenggam erat-erat buket bunga dan kudekapkan walau tersengal-sengal dadaku. Ku langkahkan kakiku beralaskan sepatu kaca yang tak kalah indahnya dengan gaun pengantin yang kukenakan. Banyu pun kini merayuku dan mengajakku untuk mengikuti alirannya. Tunggulah banyu...tunggu aku! Tunggulah sesaat lagi, sesaat setelah ku layangkan permintaan maafku untuk keluargaku, teman-temanku dan tentu saja malaikatku yang masih tetap setia mengibarkan sayapnya untuk merangkulku dan membawa ke surga dunia yang sebenar-benarnya.

Terima kasih semua…namun inilah takdir ku. Takdir untuk tersungkur tak berdaya dalam akhir langkah hidup di ujung jurang terjal dalam memerahnya balutan gaun pengantinku.


2009 - aiu

Tidak ada komentar: